Pengembangan desa wisata di Indonesia menjadi perhatian serius pemerintah pusat sejak dimasukkannya pengembangan desa wisata di 244 desa seluruh tanah air ke dalam program RPJMN RI 2019-2024. Pandemi COVID-19 yang merebak di awal tahun 2020 di Indonesia mendorong pengembangan desa wisata semakin komprehensif dan terpusat. Selain alasan untuk berinovasi pada tuntutan berwisata di ruang terbuka demi untuk menggerakkan ekonomi, hal tersebut juga untuk membuka lapangan kerja bagi masyarakat yang sebagian besar adalah warga desa yang ke kampung halamannya. Karena perusahaan tempatnya bekerja mengurangi operasional bahkan menutup usahanya dan merumahkan karyawan.
Salah satu dari sekian program desa wisata yang diagendakan beberapa Kementerian dan Lembaga lainnya baik pemerintah maupun swasta adalah "Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI)" dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Republik Indonesia yang mulai digelar sejak tahun 2021. Program ini melahirkan Jaringan Desa Wisata (JADESTA) yang merangkul desa wisata tanah air melalui program ADWI yang diikuti oleh 1.831 desa pada tahun 2021, sebanyak 3.419 desa pada tahun 2022, 4.573 desa pada tahun 2023 dan di tahun 2024 ini terdapat 6.016 desa yang mendaftar. Dengan demikian maka desa wisata yang telah terdaftar pada Jadesta hingga tahun 2024 ini berjumlah 15.839 desa wisata dari 34 provinsi di Indonesia. Peningkatan kualitas program ADWI terus dilakukan Kemenparekraf RI untuk memastikan tujuan dan dampaknya dapat bermanfaat lebih banyak, luas dan berkelanjutan bagi masyarakat, desa dan daerah.
Di tahun 2024 ini ADWI mengangkat tema "Desa Wisata Menuju Pariwisata Hijau Berkelas Dunia". Tema yang sangat relevan pada konsep isu kekinian yaitu penerapan prinsip 'berkelanjutan' dan kompetisi global di segala sektor. Peningkatan kualitas ADWI yang dilakukan di tahun 2024 ini adalah ditambahkannya program pendampingan bagi 50 desa wisata terbaik yang telah lulus kurasi sesuai tahapan dan mendapatkan visitasi lapangan penilaian Dewan Juri. Pada ADWI tahun-tahun sebelumnya belum diadakan pendampingan seperti di tahun 2024 ini. Ke-50 desa wisata terbaik tersebut mendapatkan pendampingan dari Narasumber yang ditugaskan oleh Direktorat Tata Kelola Destinasi pada Deputi Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kemenparekraf. Pada setiap desa, pendampingan diberikan berfokus pada 2 aspek dari 5 aspek utama sesuai kebutuhan desa wisata. Kelima aspek tersebut meliputi :
1) Kelembagaan dan SDM ; meningkatkan kapasitas SDM pengelola desa wisata dan menguatkan sistem kelembagaan untuk mengelola desa wisata.
2) Amenitas dan Homestay ; menguatkan posisi homestay sebagai bagian amenitas dari desa wisata dan meningkatkan standar pengelolaan dan pelayanan di homestay.
3) Digital ; meningkatkan pemahaman pengelola desa wisata dan pelaku usaha wisata dalam penerapan teknologi informasi dan komunikasi termasuk sistem pemasaran, pembayaran, administrasi dan lainnya.
4) Daya Tarik Wisata ; meningkatkan kualitas daya tarik dan objek wisata termasuk penguatan pada identifikasi potensi sumber daya di desa menjadi paket dan produk wisata yang kompetitif dan demandable.
5) Resiliensi ; meningkatkan pemahaman, kesigapan dan kepedulian masyarakat pada upaya keselamatan tempat wisata, lingkungan dan wisatawan, rekayasa mitigasi kebencanaan dan kecelakaan di tempat wisata, serta pelestarian budaya dan nilai kearifan lokal masyarakat setempat.
Aspek Resilensi merupakan materi wajib yang diberikan pada saat pendampingan. Untuk mewujudkan Pariwisata Hijau sebagai indikator keberlanjutan dan kemampuan beradaptasi sesuai konsep 'think globally act locally' untuk bisa bersaing secara global dan berkelas dunia. Penerapan aspek resiliensi pada pengembangan desa wisata difokuskan pada 2 (dua) hal yaitu : 1). Upaya pencegahan dan penanganan musibah kebencanaan dan keselamatan wisatawan; dan 2). Upaya pencegahan kerusakan lingkungan dan penanganan sampah.
Melalui penguatan resiliensi desa wisata, diharapkan pengembangan desa wisata lebih aware dan antisipatif menghadapi berbagai dinamika dan kemajuan peradaban dunia. Dengan demikian optimisme untuk keberlanjutan desa wisata semakin inovatif dan bertumbuh secara inklusif dalam melestarikan potensi, lokalitas dan sumber daya seiring dengan kebutuhan manfaat ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat.
Untuk locus tertentu seperti di Desa Wisata Adat Osing Kemiren, Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur yang memiliki konsep desa wisata budaya, narasumber mengembangkan konsep resiliensi pada ketahanan budaya sebagai keunggulan kompetitif. Hal ini mempertimbangkan kondisi terkini dimana pengaruh perilaku manusia global perlu diantisipasi agar tidak mendegradasi keluhuran budaya dan nilai kearifan lokal. Budaya yang berkembang dan masih lestari di Desa Adat Osing Kemiren di antaranya : kawasan rumah adat khas suku Osing, tari Gandrung khas Banyuwangi di desa Kemiren dengan maestro Mak Temu (berusia 71 tahun), manuscript 'Mocoan Lontar' khas Kemiren, tari Barong khas Kemiren dan sebagainya. Sebagaimana arah ADWI 2024 ini untuk mendorong desa wisata mendapatkan sertifikasi desa wisata berkelanjutan dari Badan Sertifikasi Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Tourism Council), maka Desa Wisata Adat Osing Kemiren yang telah meraihnya pada tahun 2021 lalu diarahkan oleh narasumber untuk melakukan regular surveliance-nya agar capaian indikator dalam sertifikasinya dapat ditingkatkan terus ke depannya. Dan juga disarankan untuk meningkatkan performance desa wisata agar mampu masuk dalam ajang bergengsi internasional UN Tourism - Best Tourism Village tahun 2025 yang akan datang. Mengikuti jejak langkah Desa Wisata Nglanggeran (DI Yogayakarta) dan Desa Wisata Penglipuran (Bali) yang telah menjadi pemenang di ajang tersebut pada tahun 2021 dan 2023, juga jejak Desa Bilibante (NTB), Desa Taro (Bali) dan Desa Pela (Kaltim) yang berhasil masuk kategori Upgrade Program Best Tourism Village dari UNWTO tahun 2023 lalu.
Peserta pendampingan ditetapkan sebanyak 15 (lima belas) orang di setiap desa dan ditentukan berasal dari unsur Pemerintah Desa (Kades/Sekdes/BPD/ Lembaga Lainnya), BUMDES, Pokdarwis, Pengelola Desa Wisata, PKK, Karang Taruna, Tokoh Masyarakat, Perwakilan Pelaku UMKM dan Usaha Wisata, Pengelola Bank Sampah / TPS3R dan komunitas terkait kepariwisataan di desa setempat. Lokasi kegiatan bersifat indoor dan outdoor menyesuaikan dengan topik pendampingan yang dibawakan. Kunjungan lapangan untuk mempraktekkan materi pelatihan dilakukan pada homestay, daya tarik wisata, tempat kuliner, sanggar seni, lokasi pengolahan sampah dan lokasi terkait lainnya.
Sebagian besar feedback dari peserta pendampingan mengusulkan agar program pendampingan bisa berlanjut ke depannya dan lebih lama, dilengkapi materi /topik lanjutan yang dibutuhkan. Karena sebagian besar masyarakat tidak memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman bekerja di sektor pariwisata sehingga peningkatan wawasan dan pengetahuan sangat dibutuhkan.
Bentuk pendampingan meliputi : pemaparan materi pelatihan, kunjungan lapangan dan melakukan praktek sesuai materi yang dilatihkan. Selain itu juga melakukan observasi pada lokasi daya tarik wisata yang diunggulkan dan pemberian saran untuk peningkatan kualitas desa wisata, membimbing penyusunan SOP dan administrasi terkait pengembangan desa wisata. Seperti halnya tata tertib wisatawan, kode etik kepariwisataan, naskah kesepahaman kerjasama (MOU) hingga pada penyusunan rencana aksi pengelola desa wisata paska pendampingan berakhir. Rencana aksi disusun untuk realiasi jangka pendek selama 4 (empat) bulan setelah pendampingan. Dinas Pariwisata Kabupaten / Kota setempat berkewajiban melakukan monitoring dan evaluasi atas rencana aksi tersebut dan melaporkannya kepada Kemenparekraf.
Posting Komentar